Menyatukan Agama di Poso Lewat Gerakan Literasi - Jurnal Kristen

Breaking

Recent Posts

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 19 Oktober 2016

Menyatukan Agama di Poso Lewat Gerakan Literasi

Palu - Berbicara tentang Poso, apa yang terlintas di benak ketika mendengar namanya? Bayangan tragedi berdarah yang pernah terjadi di masa lalu serta pemberitaan negatif akibat dari media arus utama?

Lewat tangan dingin seorang perempuan Poso bernama Lian Gogali, perempuan berusia 38 tahun itu mendirikan Sekolah Perempuan Mosintuwu dan proyek perpustakaan keliling Sophia di kampung halamannya. Aktivitas yang dilakoninya sejak 2010 itu bermula dari tesis kuliah ketika menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Tesis itu bertajuk "Politik Ingatan Perempuan dan Anak dalam Konflik Poso."

Dia merasa memiliki utang kepada ibu-ibu Poso. Sehingga memutuskan untuk menetap di tahun 2007 dan aktif di Asian Muslim Action Network dan Poso Center.


Cerita Lian Gogali Menyatukan Agama di Poso Lewat Gerakan LiterasiFoto: Tia Agnes

"Sejak tesis itu saya mulai berpikir bagaimana kota Poso dikenal masyarakat, ketika membuka Google, masa mau ada gambar-gambar peristiwa itu lagi. Tentu saya tak mau, kami di Poso pun tak mau. Bagaimana caranya agar mendapatkan kepercayaan publik lagi? Gerakan literasi jadi rekonsiliasi," ujarnya ketika sesi diskusi di halaman Pagombo, kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Rabu (19/10/2016).

Lian melanjutkan sekarang di Poso punya kata-kata ajaib yang diucapkan kepada ibu-ibu dan anak-anak. "Sehari-hari itu penting, maka tuliskan apa saja yang terjadi sehari-hari itu. Seperti buku harian gitu-lah," ujarnya.

Sejak berdirinya perpustakaan Sophia, yang diambil dari nama putrinya, Sophia Ava Choirunissa Gogali, dia mengaku punya cara unik untuk menyatukan masyarakat muslim dan Kristen. Lian bercerita, di sebuah desa ada masyarakat Kristen tinggal di perbukitan dan umat muslim di sekitar pelabuhan. Pasca konflik, susah sekali menyeberang dan desanya hanya dipisahkan oleh sebuah jalan. "Idenya adalah membawa buku ke sana, ke tengah jalan itu."

"Saya taruhlah kotak-kotak dus itu yang isinya buku di tengah jalan. Setiap minggunya saya datangi terus sampai mereka tanya kapan datang lagi, kapan datang lagi, tapi jangan kamu berpikir perpustakaan keliling itu pakai mobil modern seperti yang ada di kota. Ndak.. bukan seperti itu," cerita Lian.

"Saat mereka lihat buku, langsung antusiaslah, lupa-lah siapa Muslim, siapa Kristen, atau ada masa lalu apa dahulu di Poso. Ibu-ibu juga sibuk membaca dan lihat-lihat bukunya. Lupa kalau beragama berbeda," lanjutnya sembari tertawa.

Sampai sekarang, Perpustakaan Sophia sudah berkeliling ke 40 desa terpencil di kabupaten Poso. Di rumahnya terdapat hampir 1600-an buku, yang mayoritas adalah buku anak-anak. Di awal berdiri project-nya, Lian justru mendapatkan lima buah buku dari seorang peneliti asal Afghanistan.

"Sekarang dari mana-mana banyak yang kirim, ada dari komunitas Indonesia di Jepang, dan kota lainnya," ungkap Lian.

Selain Sekolah Perempuan Mosintuwu dan perpustakaan Sophia, Lian bersama empat kawannya juga mengerjakan radio komunitas, usaha desa, dan setiap hari menulis kolom di sebuah koran lokal di Poso. Di ajang Festival Literasi Indonesia, Lian sengaja datang menempuh perjalanan darat selama 7 jam ke Palu untuk membicarakan literasi dan gerakan perempuan bersama seniman visual Lala Bohang yang juga asal Palu di hari kedua festival. 


(tia/wes)
Sumber: hot.detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here