Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo |
"Kondisi ini memprihatinkan," kata Tjahjo saat berpidato dalam pembukaan rapat koordinasi Forum Kerukunan Umat Beragama di Ruang Sasana Bhakti Praja, Kemendagri, Jakarta, Kamis, 6 Oktober 2016.
Tjahjo bercerita pada masa hidupnya di Semarang, Jawa Tengah, ia tinggal dalam keluarga yang beragam. Rumahnya berada di depan masjid yang berdekatan dengan gereja. "Kalau ada acara kebaktian, pagi sampai sore bersahut-sahutan dengan azan di masjid," kata dia. Warga pun tak pernah terlibat dalam konflik.
Tjahjo juga bercerita bahwa ia lahir dari keluarga perpaduan ayahnya yang seorang penganut Nahdlatul Ulama di Jepara dengan ibunya yang berasal dari Solo penganut Muhammadiyah. "Kerukunan umat beragama ini yang terjadi dan tidak terjadi permasalahan," kata dia.
Dalam politik pun, kata dia, tidak terjadi persoalan. Sebab, ia mengatakan di beberapa tempat kepala daerah yang berkuasa dipilih dari mayoritas agama yang berbeda. Daerah dengan mayoritas non-muslim, dia mencontohkan, dipimpin oleh kepala daerah beragama Islam. "Di bidang politik tidak jadi masalah. Memang ada kesepakatan untuk bergantian," kata dia.
Ia pun menyesalkan beberapa insiden kekerasan yang mengatasnamakan agama. Insiden terbakarnya masjid di Tolikara, Papua, kata dia, bisa diselesaikan secara musyawarah. "Saat mendatangi Tolikara, saya bertanya kenapa ini bisa terjadi, padahal bisa diselesaikan dengan baik."
Tjahjo mengatakan perlu pendekatan dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat untuk meredam konflik agama di Indonesia. Tidak lagi dengan kepolisian, Satpol Pamong Praja. Menurut dia, tokoh adat dan agama perlu dilibatkan untuk mengambil keputusan di daerah. "Kalau tidak seperti ini, ke depan cukup mencemaskan," ujar Tjahjo.
Sumber: Tempo.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar